TUGAS
SOFTSKILL
MAKALAH
ILMU SOSIAL BUDAYA
(Keragaman
Manusia dan Kesetaraan)

Disusun Oleh
Nama : Arief Sofyan
NPM : 33413306
Kelas : 2ID03
JURUSAN
TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang
disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak
lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada
dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia. Kesetaraan dalam
derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya
pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme
kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya
prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Keragaman atau kemajemukan merupakan
kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman
merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di
masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatangSebagai fakta, keragaman sering
disikapi secara berbeda. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar,
namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri
jika tidak dikelola dengan baik.Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun
dengan keragaman identitas yang disandang.
Setiap individu
memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan
atau yang disebut dengan hak asasi manusia.Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan
dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial,
terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan
adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam
kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia
yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang
menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, suku bangsa, kebangsawanan,
atau pun kekayaan dan kekuasaan. Di Indonesia, berbagai konflik
antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan, ataupun antarkelompok telah
memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon,
Poso dan Kalimantan Tengah.
Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan tatanan
kehidupan yang egalitarian dan demokratis.Persoalan-persoalan tersebut sering
muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu kelompok. Adanya dominasi
sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia ditujukan kepada
struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan
satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan
satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Negara-bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dapat
disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman masyarakat
Indonesia terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
terbentuk dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa.
Negara bangsa yang beragam yang tidak berkesetaraan,
lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghadirkan kehancuran.Semangat
multikulturalisme dengan dasar kebersamaan, toleransi, dan saling pengertian
merupakan proses terus-menerus, bukan proses sekali jadi dan sesudah itu
berhenti. Di sinilah setiap komunitas masyarakat dan kebudayaan dituntut untuk
belajar terus-menerus atau belajar berkelanjutan. Proses pembelajaran semangat
multikulturalisme terus-menerus dan berkesinambungan dilakukan. Untuk itu,
penting kita miliki dan kembangkan kemampuan belajar hidup bersama dalam
multikulturalisme masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Kemampuan belajar hidup
bersama di dalam perbedaan inilah yang mempertahankan, bahkan menyelamatkan
semangat multikulturalisme. Tanpa kemampuan belajar hidup bersama yang memadai
dan tinggi, niscaya semangat multikulturalisme akan meredup. Sebaliknya,
kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi akan menghidupkan dan
memfungsionalkan semangat multikulturalisme. Proses pembelajaran semangat
multikulturalisme atau kemampuan belajar hidup bersama di tengah perbedaan dapat
diwujudkan dalam dibentuk, dipupuk, dan
atau dikembangkan dengan kegiatan, keberanian melakukan perantauan budaya,
pemahaman lintas budaya dan pembelajaran lintas budaya
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hakikat
Keragaman dan Kesetaraan Manusia
Makna
Keragaman Manusia
Keragaman berasal dari kata ragam.
Keragaman menunjukkan adanya banyak macam, banyak jenis. Keragaman manusia
dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena
manusia adalah makhluk individu yang setiap individu memiliki ciri-ciri khas
tersendiri. Perbedaan itu terutama ditinjau dari sifat-sifat pribadi, misalnya
sikap, watak, kelakuan, temperamen, dan hasrat.Selain makhluk individu, manusia
juga makhluk sosial yang membentuk kelompok persekutuan hidup. Tiap kelompok
persekutuan hidup juga beragam. Masyarakat sebagai persekutuan hidup itu
berbeda dan beragam karena ada perbedaan, misalnya dalam ras, suku, agama,
budaya, ekonomi, status sosial, jenis kelamin, jenis tempat tinggal. Hal-hal
demikian dikatakan sebagai unsur-unsur yang membentuk keragaman dalam
masyarakat. Keragaman individual maupun sosial adalah implikasi dari kedudukan
manusia,baik sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Makna
Kesetaraan Manusia
Kesetaraan berasal dari kata setara
atau sederajat. Kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yang
sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara
satu sama lain.Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan
memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Semua manusia diciptakan dengan
kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya
dibanding makhluk lain.
Di hadapan Tuhan, semua manusia sama
derajatnya,kedudukan atau tingkatannya. Yang membedakan adalah tingkat ketakwaan
manusia tersebut terhadap Tuhan. Kesetaraan atau kesederajatan tidak sekedar bermakna
adanya persamaan kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu sikap mengakui
adanya persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban sebagai sesama
manusia.
2. Kemajemukan Dalam Dinamika Sosial Budaya
Keragaman yang terdapat dalam
lingkungan sosial manusia melahirkan masyarakat majemuk. Majemuk berarti banyak
ragam,beraneka,berjenis-jenis. Konsep masyarakat majemuk (plural society)
pertama kali dikenalkan oleh Furnivall tahun 1948 yang mengatakan bahwa ciri
utama masyarakatnya adalah berkehidupan secara berkelompok yang berdampingan
secara fisik, tetapi terpisah oleh kehidupan sosial dan tergabung dalam sebuah
satuan politik. Konsep ini merujuk pada masyarakat Indonesia masa kolonial.
Masyarakat Hindia Belanda waktu itu dalam pengelompokkan komunitasnya
didasarkan atas ras,etnik,ekonomi,dan agama. Usman Pelly (1989) mengategorikan
masyarakat majemuk disuatu kota berdasarkan dua hal,yaitu pembelahan horizontal
dan pembelahan vertikal.
Secara Horizontal, masyarakat majemuk dikelompokkan
berdasarkan :
1. Etnik dan
rasa tau asal usul keturunan.
2. Bahasa
daerah
3. Adat
istiadat atau perilaku
4. Agama
5. Pakaian,
makanan, dan budaya material lainnya.
Secara Vertikal, masyarakat majemuk dikelompokkan
berdasarkan :
1. Penghasilan
atau ekonomi
2. Pendidikan
3. Pemukiman
4. Pekerjaan
5. Kedudukan
sosial politik.
Keragaman atau kemajemukan masyarakat terjadi karena
unsur-unsur seperti ras,etnik,agama,pekerjaan,penghasilan,pendidikan,dan
sebagainya.
Ras
Kata ras berasal dari bahasa Prancis
dan Italia, yaitu razza. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois
Bernier,antropolog Prancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia
berdasarkan ketegori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah.
Berdasarkan karakteristik biologis, pada umumnya
manusia dikelompokkan dalam berbagai ras. Manusia dibedakan menurut bentuk
wajah,rambut,tinggi badan, dan karakteristik fisik lainnya. Jadi, ras adalah
perbedaan manusia menurut atau berdasarkan cirri fisik biologis.
Di dunia ini
dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras
atas tiga kelompok,yaitu Kaukasoid,Negroid,dan Mongoloid. Sedangkan Koentjaraningrat
(1990) membagi ras dunia ini dalam 10 kelompok,yaitu Kaukasoid, Mongoloid,
Negroid, Australoid, Polynesia, Melanisia, Micronesia, Ainu, Dravida, dan
Bushmen. Orang-orang yang tersebar di wilayah Indonesia termasuk dalam rumpun
berbagai ras. Orang-orang Indonesia bagian barat termasuk dalam ras Mongoloid
Melayu, sedangkan orang-orang yang tinggal di Papua termasuk ras Melanesia.
Etnik
atau Suku Bangsa
Koentjaraningrat (1990) menyatakan
suku bangsa sebagai kelompok social atau kesatuan hidup manusia yang memiliki
sistem interaksi, yang ada karena kontinuitas dan rasa identitas yang
mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
F. Baart (1988) menyatakan etnik adalah suatu kelompok
masyarakat yang sebagian besar secara biologis mampu berkembang biak dan
bertahan, mempunyai nilai budaya sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu
bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan
menentukan sendiri ciri kelompok yang diterima kelompok lain dan dapat dibedakan
dari kelompok populasi lain.Identitas kesukubangsaan antara lain dapat dilihat
dari unsur-unsur suku bangsa bawaan (etnictraits).
Ciri-ciri tersebut meliputi
natalitas (kelahira) atau hubungan darah,kesamaan bahasa,kesamaan adat
istiadat,kesamaan kepercayaan (religi),kesamaan mitologi,kesamaan totemisme.
Jumlah etnik atau suku bangsa di Indonesia ada 400 buah. Klasifikasi dari suku
bangsa di Indonesia biasanya didasarkan sistem lingkaran hukum adat. Van
Vollenhoven mengemukakan adanya 19 lingkaran hukum adat
(Koentjaraningrat,1990). Jadi berdasarkan klasifikasi etnik secara nasional,
bangsa Indonesia adalah heterogen.
3.
Mengenali dan mengelola keragaman
masyarakat di Indonesia
Tidak ada masyarakat yang seragam.
Setiap kelompok, baik di tingkat negara maupun di tingka komunitas, dibangun
atas berbagai macam identitas. Untuk dapat berfungsi dengan baik, kelompok
tersebut harus mampu mengenali dan mengelola keragaman yang ada.Identitas dan
Salient IdentitySecara mudah, identitas dapat diartikan sebagai ciri yang
melekat atau dilekatkan pada seseorang atau sekelompok orang. Beberapa
identitas, misalnya ras dan usia, cenderung bersifat given. Beberapa lainnya
lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi, afiliasi politik, dan
profesi. Di samping itu, ada pula identitas yang terkait dengan pencapaian,
seperti pemenang/pecundang, kaya/miskin, pintar/bodoh.Ada kalanya, sebuah
identitas terkesan lebih mencolok atau berarti – dibanding lainnya. Sebelum
penghapusan politik Apartheid misalnya, warna kulit menjadi identitas pembeda
yang paling mencolok di Afrika Selatan. Pasca tragedi WTC, identitas
Muslim/nonMuslim yang sebelumnya tidak terlalu mendapat perhatian menjadi
penting bagi masyarakat Amerika Serikat.Identitas agama dan etnisitas biasanya
mendapatkan perhatian lebih. Bisa jadi, ini karena keduanya dianggap lebih
rawan konflik dibandingkan identitas lain. Padahal, keragaman status social
(kaya/miskin, ningrat/jelata, berpendidikan/tidak berpendidikan), kondisi
fisik(sehat/sakit/diffable/butawarna), fungsi dan profesi (produsen/konsumen,
guru/siswa, dokter/pasien), jenis kelamin, usia, afiliasi politik, ideologi,
gaya hidup (moderat/militan), dan lain sebagainya juga perlu dikelola. Hal ini
bukan semata untuk mengurangi potensi konflik, melainkan juga untuk
memungkinkan pelayanan (publik) yang prima dan sesuai dengan kebutuhan pengguna
jasa. Sayang, slogan-slogan seperti Berbeda itu Indah, Bhinneka Tunggal Ika dan
Unity in Diversity lebih ditujukan untuk mengelola keragaman agama dan
etnisitas semata.Ketidakpekaan terhadap komposisi mayoritas-minoritas serta
ketimpangan struktural berperluang memunculkan masalah.Beberapa diantaranya
adalah :
Tirani mayoritas
Dalam
kelompok yang komposisi mayoritas-minoritasnya mencolok, mekanisme-mekanisme
pengambilan keputusan yang menekankan pada jumlah (sepert imisalnya voting)
perlu dihindari karena cenderung melimpahkan kekuasaan pada mayoritas saja.
Jika hubungan mayoritas-minoritas tidak kondusif, kekuasaan yang terpusat pada
mayoritas dapat disalahgunakan. Salah satu contoh tirani mayoritas adalah
ketika mayoritas kulit putih Amerika Serikat di awal abad 20 memilih
disahkannya undang-undang segregasi berdasar warna kulit – akibatnya, orang
kulit hitam hanya boleh duduk di bagian belakang bus, hanya boleh menggunakan
kamar mandi khusus kulit hitam, hanya boleh menghadiri gereja dan sekolah kulit
hitam, dll.
Ketidakterwakilan
Ada banyak hal yang menyebabkan ketidakterwakilan. Di
antaranya adalah keberadaan minoritas atau kaum lemah yang “tidak nampak”,
sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau aspirasi
mereka tidak dianggap penting. Rapat desa misalnya, biasanya hanya mengundang
laki-laki dewasa. Contoh lain adalah pengambilan keputusan di lingkungan kampus
atau asrama yang tidak dikonsultasikan dengan mahasiswa atau penghuni
asrama. Sistem dan sarana (publik) yang tidak ramah guna Umumnya, proses
merancang sistem dan sarana (publik) hanya disesuaikan dengan kebutuhan
mayoritas atau kaum kuat. Hal ini dapat dilihat dari loket pelayanan, letak telfon
di box telfon umum, serta lubang kotak pos yang terlalu tinggi untuk jangkauan
anak-anak atau pengguna kursi roda.
Mengelola Keragaman
Ada banyak cara mengelola keragaman antara lain dapat dilakukan dengan:
• Untuk mendekonstruksi stereotip dan prasangka terhadap identitas lain
• Untuk mengenal dan berteman dengan sebanyak mungkin orang dengan identitas yang berbeda – bukan sebatas kenal nama dan wajah, tetapi mengenali latar belakang, karakter, ekspektasi, dll, makan bersama, saling berkunjung, dll
• Untuk mengembangkan ikatan-ikatan (pertemanan, bisnis, organisasi, asosiasi, dll) yang bersifat inklusif dan lintas identitas, bukan yang bersifat eksklusif
• Untuk mempelajari ritual dan falsafah identitas lain
Ada banyak cara mengelola keragaman antara lain dapat dilakukan dengan:
• Untuk mendekonstruksi stereotip dan prasangka terhadap identitas lain
• Untuk mengenal dan berteman dengan sebanyak mungkin orang dengan identitas yang berbeda – bukan sebatas kenal nama dan wajah, tetapi mengenali latar belakang, karakter, ekspektasi, dll, makan bersama, saling berkunjung, dll
• Untuk mengembangkan ikatan-ikatan (pertemanan, bisnis, organisasi, asosiasi, dll) yang bersifat inklusif dan lintas identitas, bukan yang bersifat eksklusif
• Untuk mempelajari ritual dan falsafah identitas lain
4. Memahami Masyarakat Multikultural
Pemahaman terhadap multikulturalisme sendiri sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari pengertian kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang
menjadi kunci pemahaman konsep multikulturalisme.Kebudayaan merupakan
sekumpulan nilai moral untuk meningkatkan derajat manusia dan
kemanusiaan. Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya
perbedaan dalam kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok dalam
kerangka kebudayaan. Heterogenitas kekayaan budaya negara-bangsa Indonesia
selama ini terekatkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Dengan kata lain,
kekayaan budaya dapat bertindak sebagai faktor pemersatu, yang sifatnya majemuk
dan dinamis. Tidak ada kebudayaan Indonesia, bila bukan terbentuk dari
kebudayaan masyarakat yang lebih kecil.Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme
menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya
keteraturan sosial. Sehingga, bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat dan
kelancaran tata kehidupan masyarakat.Melihat kemajemukan Indonesia yang begitu
luasnya – terdiri dari sedikitnya 500 suku bangsa, maka multikulturalisme
hendaknya tidak hanya sekadar retorika, tetapi harus diperjuangkan sebagai
landasan bagi tumbuh dan tegaknya proses demokrasi, pengakuan hak asasi
manusia, dan akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Upaya itu harus
dilakukan jika melihat berbagai konflik yang terjadi di sejumlah daerah di
tanah air, beberapa waktu lalu. Konflik itu mengindikasikan belum tuntasnya
pembentukan masyarakat multikultural di Indonesia. Munculnya konflik antarsuku,
misalnya, menunjukkan belum dipahaminya prinsip multikulturalisme yang mengakui
perbedaan dalam kesetaraan. Penanaman nilai-nilai kesetaraan dalam perbedaan
itulah yang senantiasa dilakukan secara aktif baik oleh tokoh masyarakat, tokoh
partai, maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, pemahaman bahwa
bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam kebudayaan
harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.Kesetaraan setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat
tradisional merupakan unsur dasar dari prinsip demokrasi, yang terkandung
pengakuan terhadap kesetaraan dan toleransi terhadap perbedaan dalam
kemajemukan.
5. Kesetaraan Dalam Kehidupan masyarakat
Tuntutan kesetaraan mungkin belum beberapa abad terakhir ini
di mulai oleh manusia. Tentunya seruan dengan suara kecil malah yang hampir
tidak terdengar, pada ribuan tahun yang lalu sudah ada. Tingkatannya rakyat
jelata, tetapi berkeinginan agar menjadi sepadan dengan para bangsawan, dengan
para orang kaya serta berkuasa bahkan menjadi anggota kalangan Sang Baginda
Raja. Kalau kita mau memikirkan masak-masak keinginan untuk setara itu,
biasanya dan selalu datang dari pihak yang kurang beruntung untuk menyamai kaum
yang sedang atau sudah beruntung. Kalau sekarang ini ada yang meneriakkan
kesetaraan mungkin sekali adalah karena jurang yang memisahkan kaum yang merasa
dirinya tidak setara dengan kaum yang ingin disetarai, semakin curam dan
semakin lebar saja. Kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam
susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu
kelompok terhadap kelompok yang lain.Republik kita yang sudah berumur tua untuk
ukuran manusia, 62 tahun saja tidak ada keadilan dalam kehidupan berbangsa.
Keadaan adil dan makmur yang menjadi idaman seluruh rakyat Indonesia tidak
pernah datang sampai sekarang dan kemungkina besar juga di masa yang akan depan
nanti. Untuk mencapai kesetaraan itu sebaiknya dengan cara menaikkan
derajat, peringkat, kondisi serta kemampuan setiap perorangan ketingkat yang
diingininya, dengan upaya sendiri-sendiri untuk tahap awal. Ini adalah
satu-satunya jalan. Jangan mengajak teman sejawat terlebih dahulu hanya untuk
membentuk massa-mass forming. Mass forming seperti ini akan menjadi solid-utuh
kalau para pembentuknya memang mempunyai peringkat yang setara dan sepadan.
Kalau isi para pembentuknya tidak sama kemampuannya, visinya dan tugasnya, maka
massa yang terbentuk akan tidak utuh serta mudah tercerai-berai. Yang memilukan
adalah bahwa setiap orang yang mempunyai ambisi untuk menggerakan massa untuk
mencapai kesetaraan, kurang mengamati sekelilingnya sendiri.Dengan identitas
pluralis dan multikulturalis itu bangunan interaksi dan relasi antara manusia
Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan menandai cara berpikir
dan perilaku bangsa Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas
realitas bangsanya yang plural dan multikultural itu. Identitas kesetaran ini
tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan di
atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain.
Kesetaraan merupakan identitas nasional Indonesia.
BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai
Indonesia Baru, maka idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan
landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika.
Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa
sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu Keragaman. Kesetaraan
bisa di wujudkan dengan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI dan juga
keadilan di dalam bidang hukum ( bahwa semua sama di di hadapan hukum ). Namun,
jangan sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah
konflik yang berkepanjangan. Oleh karena itu Keragaman dan Kesetaraan
harus di tanamkan sejak dini kepada generasi muda penerus bangsa.
2.SARAN
Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam
suatu organisasi / kelompok manusia harus memiliki kesadaran diri terhadap
realita yang berkembang di tengah masyarakat sehingga dapat menghindari masalah
yang berpokok pangkal dari keragaman dan keserataan sebagai sifat dasar
manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
1.Siswono Yudo Husodo. 2009. Pancasila dan keberlanjutan NKRI
( http://www.liveconector.com , dikutip tanggal 19 Oktober 2009 )
2.Ilmu Sosial Budaya Dasar
( http://yudihartono.wordpress.com/ )
3.M Zaid Wahyudi. 2009. Jadikan Toleransi sebagai Modal. Artikel-artikel
Islam ( http://ajaranislam.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
2009. Mengenali dan Mengelola Keragaman
4.( http://pdfdatabase.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
Agung mulyana. “Memahami Masyarakat Multikultural”, Suara Karya,
30 November 2006
5.Ignatius Yunanto. 2008. Multikulturalisme sebuah perjuangan panjang bangsa
Indonesia. ( http://joenanto.multyply.com, diakses tanggal 20 Oktober 2009)
6.Rujito. 2009. Identitas Nasional Indonesia
( http://maharsi-rujito.blogspot.com, diakses tanggal 23 Oktober 2009 )
( http://www.liveconector.com , dikutip tanggal 19 Oktober 2009 )
2.Ilmu Sosial Budaya Dasar
( http://yudihartono.wordpress.com/ )
3.M Zaid Wahyudi. 2009. Jadikan Toleransi sebagai Modal. Artikel-artikel
Islam ( http://ajaranislam.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
2009. Mengenali dan Mengelola Keragaman
4.( http://pdfdatabase.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
Agung mulyana. “Memahami Masyarakat Multikultural”, Suara Karya,
30 November 2006
5.Ignatius Yunanto. 2008. Multikulturalisme sebuah perjuangan panjang bangsa
Indonesia. ( http://joenanto.multyply.com, diakses tanggal 20 Oktober 2009)
6.Rujito. 2009. Identitas Nasional Indonesia
( http://maharsi-rujito.blogspot.com, diakses tanggal 23 Oktober 2009 )
7. Endang Pertiwi. 2013 Keragaman
Manusia dan Kesetaraan
(http://endangpertiwi21.blogspot.com,
diakses tanggal 21 Desember 2014)