Selasa, 06 Januari 2015

Keragaman Manusia dan Kesetaraan

TUGAS SOFTSKILL
MAKALAH ILMU SOSIAL BUDAYA
(Keragaman Manusia dan Kesetaraan)

Gunadarma_1

Disusun Oleh
   Nama                        : Arief Sofyan
   NPM                         : 33413306
   Kelas                       : 2ID03
                                   






JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2014


BAB I
PENDAHULUAN

 Latar Belakang
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia. Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatangSebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang.
 Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, suku bangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan. Di Indonesia, berbagai konflik antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan, ataupun antarkelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah.
Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.Persoalan-persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu kelompok. Adanya dominasi sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman masyarakat Indonesia terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa.
Negara bangsa yang beragam yang tidak berkesetaraan, lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghadirkan kehancuran.Semangat multikulturalisme dengan dasar kebersamaan, toleransi, dan saling pengertian merupakan proses terus-menerus, bukan proses sekali jadi dan sesudah itu berhenti. Di sinilah setiap komunitas masyarakat dan kebudayaan dituntut untuk belajar terus-menerus atau belajar berkelanjutan. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme terus-menerus dan berkesinambungan dilakukan. Untuk itu, penting kita miliki dan kembangkan kemampuan belajar hidup bersama dalam multikulturalisme masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Kemampuan belajar hidup bersama di dalam perbedaan inilah yang mempertahankan, bahkan menyelamatkan semangat multikulturalisme. Tanpa kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi, niscaya semangat multikulturalisme akan meredup. Sebaliknya, kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi akan menghidupkan dan memfungsionalkan semangat multikulturalisme. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme atau kemampuan belajar hidup bersama di tengah perbedaan dapat diwujudkan dalam  dibentuk, dipupuk, dan atau dikembangkan dengan kegiatan, keberanian melakukan perantauan budaya, pemahaman lintas budaya dan pembelajaran lintas budaya  

BAB II
PEMBAHASAN

1. Hakikat Keragaman dan Kesetaraan Manusia
Makna Keragaman Manusia
Keragaman berasal dari kata ragam. Keragaman menunjukkan adanya banyak macam, banyak jenis. Keragaman manusia dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena manusia adalah makhluk individu yang setiap individu memiliki ciri-ciri khas tersendiri. Perbedaan itu terutama ditinjau dari sifat-sifat pribadi, misalnya sikap, watak, kelakuan, temperamen, dan hasrat.Selain makhluk individu, manusia juga makhluk sosial yang membentuk kelompok persekutuan hidup. Tiap kelompok persekutuan hidup juga beragam. Masyarakat sebagai persekutuan hidup itu berbeda dan beragam karena ada perbedaan, misalnya dalam ras, suku, agama, budaya, ekonomi, status sosial, jenis kelamin, jenis tempat tinggal. Hal-hal demikian dikatakan sebagai unsur-unsur yang membentuk keragaman dalam masyarakat. Keragaman individual maupun sosial adalah implikasi dari kedudukan manusia,baik sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Makna Kesetaraan Manusia
Kesetaraan berasal dari kata setara atau sederajat. Kesetaraan atau kesederajatan menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Semua manusia diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain.
Di hadapan Tuhan, semua manusia sama derajatnya,kedudukan atau tingkatannya. Yang membedakan adalah tingkat ketakwaan manusia tersebut terhadap Tuhan. Kesetaraan atau kesederajatan tidak sekedar bermakna adanya persamaan kedudukan manusia. Kesederajatan adalah suatu sikap mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban sebagai sesama manusia.
2.  Kemajemukan Dalam Dinamika Sosial Budaya
Keragaman yang terdapat dalam lingkungan sosial manusia melahirkan masyarakat majemuk. Majemuk berarti banyak ragam,beraneka,berjenis-jenis. Konsep masyarakat majemuk (plural society) pertama kali dikenalkan oleh Furnivall tahun 1948 yang mengatakan bahwa ciri utama masyarakatnya adalah berkehidupan secara berkelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi terpisah oleh kehidupan sosial dan tergabung dalam sebuah satuan politik. Konsep ini merujuk pada masyarakat Indonesia masa kolonial. Masyarakat Hindia Belanda waktu itu dalam pengelompokkan komunitasnya didasarkan atas ras,etnik,ekonomi,dan agama. Usman Pelly (1989) mengategorikan masyarakat majemuk disuatu kota berdasarkan dua hal,yaitu pembelahan horizontal dan pembelahan vertikal.

Secara Horizontal, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan :
 1. Etnik dan rasa tau asal usul keturunan.
 2. Bahasa daerah
 3. Adat istiadat atau perilaku
 4. Agama
 5. Pakaian, makanan, dan budaya material lainnya.
Secara Vertikal, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan :
 1. Penghasilan atau ekonomi
 2. Pendidikan
 3. Pemukiman
 4. Pekerjaan
 5. Kedudukan sosial politik.
Keragaman atau kemajemukan masyarakat terjadi karena unsur-unsur seperti ras,etnik,agama,pekerjaan,penghasilan,pendidikan,dan sebagainya.

  Ras
Kata ras berasal dari bahasa Prancis dan Italia, yaitu razza. Pertama kali istilah ras diperkenalkan Franqois Bernier,antropolog Prancis, untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan ketegori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah.
Berdasarkan karakteristik biologis, pada umumnya manusia dikelompokkan dalam berbagai ras. Manusia dibedakan menurut bentuk wajah,rambut,tinggi badan, dan karakteristik fisik lainnya. Jadi, ras adalah perbedaan manusia menurut atau berdasarkan cirri fisik biologis.
Di dunia ini dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok,yaitu Kaukasoid,Negroid,dan Mongoloid. Sedangkan Koentjaraningrat (1990) membagi ras dunia ini dalam 10 kelompok,yaitu Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, Australoid, Polynesia, Melanisia, Micronesia, Ainu, Dravida, dan Bushmen. Orang-orang yang tersebar di wilayah Indonesia termasuk dalam rumpun berbagai ras. Orang-orang Indonesia bagian barat termasuk dalam ras Mongoloid Melayu, sedangkan orang-orang yang tinggal di Papua termasuk ras Melanesia.
  Etnik atau Suku Bangsa
Koentjaraningrat (1990) menyatakan suku bangsa sebagai kelompok social atau kesatuan hidup manusia yang memiliki sistem interaksi, yang ada karena kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
F. Baart (1988) menyatakan etnik adalah suatu kelompok masyarakat yang sebagian besar secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai budaya sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan menentukan sendiri ciri kelompok yang diterima kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.Identitas kesukubangsaan antara lain dapat dilihat dari unsur-unsur suku bangsa bawaan (etnictraits).
Ciri-ciri tersebut meliputi natalitas (kelahira) atau hubungan darah,kesamaan bahasa,kesamaan adat istiadat,kesamaan kepercayaan (religi),kesamaan mitologi,kesamaan totemisme. Jumlah etnik atau suku bangsa di Indonesia ada 400 buah. Klasifikasi dari suku bangsa di Indonesia biasanya didasarkan sistem lingkaran hukum adat. Van Vollenhoven mengemukakan adanya 19 lingkaran hukum adat (Koentjaraningrat,1990). Jadi berdasarkan klasifikasi etnik secara nasional, bangsa Indonesia adalah heterogen.
3. Mengenali  dan mengelola keragaman masyarakat di Indonesia
Tidak ada masyarakat yang seragam. Setiap kelompok, baik di tingkat negara maupun di tingka komunitas, dibangun atas berbagai macam identitas. Untuk dapat berfungsi dengan baik, kelompok tersebut harus mampu mengenali dan mengelola keragaman yang ada.Identitas dan Salient IdentitySecara mudah, identitas dapat diartikan sebagai ciri yang melekat atau dilekatkan pada seseorang atau sekelompok orang. Beberapa identitas, misalnya ras dan usia, cenderung bersifat given. Beberapa lainnya lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi, afiliasi politik, dan profesi. Di samping itu, ada pula identitas yang terkait dengan pencapaian, seperti pemenang/pecundang, kaya/miskin, pintar/bodoh.Ada kalanya, sebuah identitas terkesan lebih mencolok atau berarti – dibanding lainnya. Sebelum penghapusan politik Apartheid misalnya, warna kulit menjadi identitas pembeda yang paling mencolok di Afrika Selatan. Pasca tragedi WTC, identitas Muslim/nonMuslim yang sebelumnya tidak terlalu mendapat perhatian menjadi penting bagi masyarakat Amerika Serikat.Identitas agama dan etnisitas biasanya mendapatkan perhatian lebih. Bisa jadi, ini karena keduanya dianggap lebih rawan konflik dibandingkan identitas lain. Padahal, keragaman status social (kaya/miskin, ningrat/jelata, berpendidikan/tidak berpendidikan), kondisi fisik(sehat/sakit/diffable/butawarna), fungsi dan profesi (produsen/konsumen, guru/siswa, dokter/pasien), jenis kelamin, usia, afiliasi politik, ideologi, gaya hidup (moderat/militan), dan lain sebagainya juga perlu dikelola. Hal ini bukan semata untuk mengurangi potensi konflik, melainkan juga untuk memungkinkan pelayanan (publik) yang prima dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa. Sayang, slogan-slogan seperti Berbeda itu Indah, Bhinneka Tunggal Ika dan Unity in Diversity lebih ditujukan untuk mengelola keragaman agama dan etnisitas semata.Ketidakpekaan terhadap komposisi mayoritas-minoritas serta ketimpangan struktural berperluang memunculkan masalah.Beberapa diantaranya adalah :
Tirani mayoritas
Dalam kelompok yang komposisi mayoritas-minoritasnya mencolok, mekanisme-mekanisme pengambilan keputusan yang menekankan pada jumlah (sepert imisalnya voting) perlu dihindari karena cenderung melimpahkan kekuasaan pada mayoritas saja. Jika hubungan mayoritas-minoritas tidak kondusif, kekuasaan yang terpusat pada mayoritas dapat disalahgunakan. Salah satu contoh tirani mayoritas adalah ketika mayoritas kulit putih Amerika Serikat di awal abad 20 memilih disahkannya undang-undang segregasi berdasar warna kulit – akibatnya, orang kulit hitam hanya boleh duduk di bagian belakang bus, hanya boleh menggunakan kamar mandi khusus kulit hitam, hanya boleh menghadiri gereja dan sekolah kulit hitam, dll.
Ketidakterwakilan
Ada banyak hal yang menyebabkan ketidakterwakilan. Di antaranya adalah keberadaan minoritas atau kaum lemah yang “tidak nampak”, sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau aspirasi mereka tidak dianggap penting. Rapat desa misalnya, biasanya hanya mengundang laki-laki dewasa. Contoh lain adalah pengambilan keputusan di lingkungan kampus atau asrama yang tidak dikonsultasikan dengan mahasiswa atau penghuni asrama. Sistem dan sarana (publik) yang tidak ramah guna Umumnya, proses merancang sistem dan sarana (publik) hanya disesuaikan dengan kebutuhan mayoritas atau kaum kuat. Hal ini dapat dilihat dari loket pelayanan, letak telfon di box telfon umum, serta lubang kotak pos yang terlalu tinggi untuk jangkauan anak-anak atau pengguna kursi roda. 
Mengelola Keragaman
Ada banyak cara mengelola keragaman antara lain dapat dilakukan dengan:
• Untuk mendekonstruksi stereotip dan prasangka terhadap identitas lain
• Untuk mengenal dan berteman dengan sebanyak mungkin orang dengan identitas yang berbeda – bukan sebatas kenal nama dan wajah, tetapi mengenali latar belakang, karakter, ekspektasi, dll, makan bersama,  saling berkunjung, dll
• Untuk mengembangkan ikatan-ikatan (pertemanan, bisnis, organisasi, asosiasi, dll) yang bersifat inklusif dan lintas identitas, bukan yang bersifat eksklusif
• Untuk mempelajari ritual dan falsafah identitas lain
 
4. Memahami Masyarakat Multikultural
            Pemahaman terhadap multikulturalisme sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang menjadi kunci pemahaman konsep multikulturalisme.Kebudayaan merupakan sekumpulan nilai moral untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan. Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan. Heterogenitas kekayaan budaya negara-bangsa Indonesia selama ini terekatkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Dengan kata lain, kekayaan budaya dapat bertindak sebagai faktor pemersatu, yang sifatnya majemuk dan dinamis. Tidak ada kebudayaan Indonesia, bila bukan terbentuk dari kebudayaan masyarakat yang lebih kecil.Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial. Sehingga, bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat dan kelancaran tata kehidupan masyarakat.Melihat kemajemukan Indonesia yang begitu luasnya – terdiri dari sedikitnya 500 suku bangsa, maka multikulturalisme hendaknya tidak hanya sekadar retorika, tetapi harus diperjuangkan sebagai landasan bagi tumbuh dan tegaknya proses demokrasi, pengakuan hak asasi manusia, dan akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
 Upaya itu harus dilakukan jika melihat berbagai konflik yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air, beberapa waktu lalu. Konflik itu mengindikasikan belum tuntasnya pembentukan masyarakat multikultural di Indonesia. Munculnya konflik antarsuku, misalnya, menunjukkan belum dipahaminya prinsip multikulturalisme yang mengakui perbedaan dalam kesetaraan. Penanaman nilai-nilai kesetaraan dalam perbedaan itulah yang senantiasa dilakukan secara aktif baik oleh tokoh masyarakat, tokoh partai, maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, pemahaman bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam kebudayaan harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Kesetaraan setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat tradisional merupakan unsur dasar dari prinsip demokrasi, yang terkandung pengakuan terhadap kesetaraan dan toleransi terhadap perbedaan dalam kemajemukan.

5.  Kesetaraan Dalam Kehidupan masyarakat         
Tuntutan kesetaraan mungkin belum beberapa abad terakhir ini di mulai oleh manusia. Tentunya seruan dengan suara kecil malah yang hampir tidak terdengar, pada ribuan tahun yang lalu sudah ada. Tingkatannya rakyat jelata, tetapi berkeinginan agar menjadi sepadan dengan para bangsawan, dengan para orang kaya serta berkuasa bahkan menjadi anggota kalangan Sang Baginda Raja. Kalau kita mau memikirkan masak-masak keinginan untuk setara itu, biasanya dan selalu datang dari pihak yang kurang beruntung untuk menyamai kaum yang sedang atau sudah beruntung. Kalau sekarang ini ada yang meneriakkan kesetaraan mungkin sekali adalah karena jurang yang memisahkan kaum yang merasa dirinya tidak setara dengan kaum yang ingin disetarai, semakin curam dan semakin lebar saja. Kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain.Republik kita yang sudah berumur tua untuk ukuran manusia, 62 tahun saja tidak ada keadilan dalam kehidupan berbangsa. Keadaan adil dan makmur yang menjadi idaman seluruh rakyat Indonesia tidak pernah datang sampai sekarang dan kemungkina besar juga di masa yang akan depan nanti. Untuk mencapai kesetaraan itu sebaiknya dengan cara menaikkan derajat, peringkat, kondisi serta kemampuan setiap perorangan ketingkat yang diingininya, dengan upaya sendiri-sendiri untuk tahap awal. Ini adalah satu-satunya jalan. Jangan mengajak teman sejawat terlebih dahulu hanya untuk membentuk massa-mass forming. Mass forming seperti ini akan menjadi solid-utuh kalau para pembentuknya memang mempunyai peringkat yang setara dan sepadan. Kalau isi para pembentuknya tidak sama kemampuannya, visinya dan tugasnya, maka massa yang terbentuk akan tidak utuh serta mudah tercerai-berai. Yang memilukan adalah bahwa setiap orang yang mempunyai ambisi untuk menggerakan massa untuk mencapai kesetaraan, kurang mengamati sekelilingnya sendiri.Dengan identitas pluralis dan multikulturalis itu bangunan interaksi dan relasi antara manusia Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan menandai cara berpikir dan perilaku bangsa Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas realitas bangsanya yang plural dan multikultural itu. Identitas kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Kesetaraan merupakan identitas nasional Indonesia.


BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu Keragaman. Kesetaraan bisa di wujudkan dengan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI dan juga keadilan di dalam bidang hukum ( bahwa semua sama di di hadapan hukum ). Namun, jangan sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik yang berkepanjangan. Oleh karena itu Keragaman dan Kesetaraan harus di tanamkan sejak dini kepada generasi muda penerus bangsa.
2.SARAN
Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu organisasi / kelompok manusia harus memiliki kesadaran diri terhadap realita yang berkembang di tengah masyarakat sehingga dapat menghindari masalah yang berpokok pangkal dari keragaman dan keserataan sebagai sifat dasar manusia.


DAFTAR PUSTAKA
1.Siswono Yudo Husodo. 2009. Pancasila dan keberlanjutan NKRI
( http://www.liveconector.com , dikutip tanggal 19 Oktober 2009 )

2.Ilmu Sosial Budaya Dasar
( http://yudihartono.wordpress.com/ )

3.M Zaid Wahyudi. 2009. Jadikan Toleransi sebagai Modal. Artikel-artikel
Islam ( http://ajaranislam.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
2009. Mengenali dan Mengelola Keragaman

4.( http://pdfdatabase.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
Agung mulyana. “Memahami Masyarakat Multikultural”, Suara Karya,
30 November 2006

5.Ignatius Yunanto. 2008. Multikulturalisme sebuah perjuangan panjang bangsa
Indonesia. ( http://joenanto.multyply.com, diakses tanggal 20 Oktober 2009)

6.Rujito. 2009. Identitas Nasional Indonesia
( http://maharsi-rujito.blogspot.com, diakses tanggal 23 Oktober 2009 )

7. Endang Pertiwi. 2013 Keragaman Manusia dan Kesetaraan
(http://endangpertiwi21.blogspot.com, diakses tanggal 21 Desember 2014)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar